Selanjutnya, santri dibagi ke dalam kelompok berdasarkan jenjang dan jenis kelamin. Miss Maya memandu kelompok putri (Mecca), Mr. Syahied bersama para santri putra JHS (Bucharest), dan Miss Nana untuk putra SHS (Granada). Dalam suasana yang santai dan penuh empati, para fasilitator berbicara tentang pentingnya saling menghargai, menghindari ghosob dan bullying, serta menolak praktik senioritas yang merusak semangat ukhuwah. Pertanyaan reflektif seperti “Pernahkah kamu melihat temanmu dijauhi?” atau “Bagaimana rasanya diejek karena nama ayahmu?” memantik kejujuran para santri. Beberapa mulai berbagi cerita, ada yang merasa pernah menjadi korban, dan ada pula yang mulai menyadari sikapnya yang dulu menyakitkan orang lain.
Setelah sesi refleksi, para santri diminta untuk menyampaikan satu hal yang mereka hargai dari temannya. Kegiatan ini membuat suasana menjadi lebih akrab dan hangat. Banyak yang tersenyum malu saat mendengar pujian dari temannya, bahkan tak sedikit yang saling mengucapkan maaf dan terima kasih. Untuk melengkapi suasana kebersamaan, panitia membagikan snack ringan sambil menyampaikan pesan sederhana, “Muslim sejati menghargai orang lain.”
Puncak kegiatan ditandai dengan pengucapan ikrar bersama. Dengan suara lantang dan penuh semangat, para santri menyatakan bahwa mereka adalah bagian dari keluarga besar AIS—keluarga yang menjunjung nilai kebaikan, menghormati sesama, dan melindungi hak setiap individu. Ikrar ini terasa begitu kuat karena bukan sekadar janji di bibir, melainkan tekad untuk berubah dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Di akhir kegiatan, masing-masing santri menuliskan satu janji pribadi dalam Buku Mustahiq mereka. Janji-janji ini sangat konkret, seperti: “Saya akan menyapa adik kelas dengan ramah,” atau “Saya tidak akan mengejek teman karena nama orang tuanya.” Kegiatan ini menjadi penutup yang reflektif, namun juga menjadi awal bagi langkah nyata perubahan sikap di lingkungan pondok.
Direktur AIS, Mr. Masrul Hidayatullah, S.Si., yang turut hadir dan mengamati langsung jalannya kegiatan, memberikan apresiasi tinggi terhadap semangat para santri. “Kegiatan ini sangat penting, karena membentuk karakter santri yang tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga memiliki empati dan kesadaran sosial. Ketika anak-anak merasa aman dan dihargai, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang kokoh dan berakhlak mulia. Itulah tujuan pendidikan di AIS—membentuk generasi berjiwa besar dan saling menjaga,” ungkap beliau.
Kegiatan Mustahiq Time kali ini membuktikan bahwa pendidikan karakter tidak selalu harus datang dari teori panjang. Terkadang, ia lahir dari obrolan yang jujur, ikrar sederhana, dan momen-momen kecil yang menyentuh hati. Di AIS, santri tidak hanya diajarkan untuk cerdas, tapi juga untuk peduli. Karena sejatinya, menjadi keluarga berarti saling melindungi, saling menghargai, dan tumbuh bersama.